Agung
sedang melaksanakan tugasnya sebagai PJL.
BEKASI,
UNSIKANEWS-Setiap kali kereta api melewati lintasan sebidang, Penjaga Jalan
Lintasan (PJL) selalu siaga menyalakan alarm dan menutup palang pintu lintasan
kereta api. Tujuannya tak lain agar pengendara kendaraan bermotor tidak
melintas selama kereta api melewati lintasan demi keselamatan mereka. Selama 24
jam, para PJL bekerja bergantian demi menjaga perlintasan kereta tersebut.
Salah satunya adalah seorang PJL di Stasiun
Bekasi, tepatnya di Jl. Ir. H. Juanda Kelurahan Marga Mulya, Kecamatan Bekasi
Utara, Kota Bekasi. Agung (32) sudah menjadi PJL selama tiga tahun. Awalnya ia
melamar pekerjaan saat sedang dibutuhkannya PJL untuk menjaga lintasan. Ia
berasal dari Garut, dan kini tinggal di Cikampek. Ia berangkat kerja dari Garut
ke Bekasi dengan menggunakan kereta api. Ia mempunyai dua anak, satu laki-laki
dan satu perempuan.
Agung menjelaskan, shift dalam menjaga lintasan ini dibagi menjadi tiga, yaitu untuk
pagi pada pukul 07.00 – 15.00, untuk sore pukul 15.00 – 23.00, dan untuk malam
pukul 23.00 – 07.00. “Untuk pergantian shift-nya
biasanya dua hari sekali, karena kalau tiap minggu atau tiap bulan saya bisa
jenuh, menghadapi perlintasan yang ramai begini saya bisa stress. Apalagi untuk kereta prioritas, saya sering menghadapinya,
karena kereta tersebut tidak boleh tertahan, harus jalan terus.” Ujarnya.
“Untungnya disini belum pernah ada yang
kecelakaan, dan jangan sampai pernah, karena kalau terjadi kecelakaan ribet di sayanya. Jika memang karena
kelalaian saya, saya akan dipidana. Satu kepala yang kecelakaan itu lima tahun
pidana, jadi misalkan satu angkot yang kecelakaan, hitung saja ada berapa orang
di dalam dikali lima tahun. Tapi jika bukan dari kelalaian saya, memang tidak
dipidana, namun saya terkena BAP (Berita Acara Pidana) dan itu berlarut-larut,
diintrogasi polisi, dicari mana yang benar dan mana yang salah. Intinya dicari
kebenarannya.” Ungkapnya menambahkan.
Setiap pos PJL sudah mempunyai jadwal kereta
yang akan lewat, disertai dengan komunikasi antara PPKA (Pemimpin Perjalanan
Kereta Api) dan petugas PJLnya sendiri. Termasuk komunikasi dengan pos-pos
pintu sebelah dengan memakai telepon. “Kalo HT (Handy Talky) hanya untuk lingkungan sekitar sini saja, untuk PKD
(Petugas Keamanan Dalam) yang membantu saya.” Jelasnya.
Namun jika ada kereta yang datangnya telat,
akan diberitahu lewat pemberitahuan dari PPKA di stasiun, jadi Agung selalu
mencatat jika ada jadwal kereta yang telat atau jika ada kereta tambahan yang
akan lewat. Dalam melaksanakan tugasnya, Agung dibantu oleh alat pemberitahuan.
Alat ini selalu dikontrol setiap harinya oleh pihak kereta api agar tidak
rusak. Karena jika rusak akan sangat menyulitkannya. Ia menjelaskan, biasanya
yang rusak hanya palangnya saja. Jika rusak, ia memakai palang forbodden yang biasanya ada di setiap
perlintasan.
Perlintasan tempat bekerja Agung ini
termasuk 10 perlintasan terpadat se-Jabodetabek. “Jadi memang lumayan rumit
mengaturnya. Tergantung dari pengguna jalannya sendiri. Seharusnya kan
peraturan dari Dirjen (Direktur Jendral) KAI itu setelah mendengar sirine
berbunyi mereka harus berhenti. Namun terkadang pengguna jalan ketika mereka
mendengar sirine berbunyi bukannya berhenti malah nambah kecepatan. Mereka
merelakan diri mereka tertabrak daripada mereka menunggu beberapa menit demi
keselamatan. Ya tidak bisa kita pungkiri, inilah Indonesia.” Ungkapnya.
Sebagai petugas PJL, Agung menjelaskan
“haram” hukumnya untuk membuat kesalahan sedikitpun. Karena ketika diklat
(pendidikan latihan), ia diajarkan dan didoktrin untuk tidak boleh membuat
kesalahan. Biasanya kesalahan terkecil dan paling fatal dari PJL adalah lupa.
Maka dari itu, setiap tiga atau enam bulan sekali selalu diadakan diklat, untuk
sertifikasi atau untuk mengingat kembali pelajaran yang sudah lalu. Jadi di
kereta api khususnya PPKA, PAP (Pengawas Peron), dan PJL “haram” hukumnya untuk
lupa.
Selama menjalankan tugas sebagai PJL, Agung
tidak menggunakan alat pemberitahuan otomatis. Alat pemberitahuan ini dibagi
menjadi tiga setelan, yaitu otomatis, semi-otomatis, dan manual. Ia
menjelaskan, di lintasan yang ia jaga dengan ramainya kendaraan bermotor yang
melintas tidak bisa dipakai alat otomatis ataupun semi-otomatis, karena ketika
memakai otomatis, jika ada kereta melintas alarm akan berbunyi sendiri dan
palang pintu juga turun sendiri. Jadi jika ada kendaraan yang terjebak di dalam
tidak bisa keluar. Begitupun semi-otomatis, bedanya hanya palang pintu tidak
menutup secara otomatis, namun untuk menaikkan palang pintunya otomatis naik
sendiri. Sedangkan di tempat Agung menjaga lintasan, ia sering melayani kereta
lebih dari tiga, sehingga jika memakai semi-otomatis, orang yang melintas akan komplain karena terlalu lama ditutup.
Agung belum berstatus sebagai PNS (Pegawai
Negeri Sipil). “Kita disini tergantung pengabdian. Semakin lama kita mengabdi
di kereta api, semakin kita dekat menuju PNS. Namun setahu saya 2013 kesini
statusnya bukan PNS karena sekarang BUMN ini persero, lebih ke PT (Perseroan
Terbatas). Kalau kesempatan diangkat PNS masih ada, setiap pegawai yang
mengabdi masih ada kesempatan. Nantinya setiap beberapa tahun ada tes internal.
Kita tetap bisa ikut tes tersebut sama seperti yang lain, namun perbedaannya
kita direkomendasikan dari kereta api.” Paparnya.
“Kalau dibilang berat ya memang berat
pekerjaan ini. Namun orang-orang hanya memandang sebelah mata. Mereka sering
menganggap sepele, hanya duduk,
merokok, minum kopi. Namun dibalik tanggung jawabnya itu ya ada pidana di
belakang kita yang ngintilin.”
Jelasnya. Agung memang harus terus standby
di pos, ia tidak diizinkan untuk meninggalkan pos selama jam kerja. Ia hanya
boleh berada di 100 meter ke depan dari pos, 100 meter ke belakang, dan 100
meter ke samping kiri dan kanan. Tidak boleh lebih dari itu, selama masih mendengar
suara telepon diperbolehkan berkeliling. “Kalau mau ke toilet atau sholat juga
harus mencari jam kosong. Itupun juga harus izin dulu ke PPKA. Dibilang ribet
ya memang ini tugas kita. Jangankan ke toilet, makan saja terkadang setengah
jam baru selesai, sedang makan satu suap sudah ada kereta lagi.” Tambahnya.
Agung juga menjelaskan alasan mengapa ketika
kereta melintas selalu membunyikan klakson. Hal itu menandakan kereta meminta
perhatian. “Jadi di kita ada namanya semboyan 35. Setiap kereta yang lewat
pasti membunyikan klakson, perhatian bahwa ini lho ada kereta yang mau lewat. Dan saya pun harus nunjuk, namanya
tunjuk sebut. Jadi di awal dan di akhir kereta kita tunjuk. Untuk lokomotif
kereta itu namanya semboyan 20. Di ujung paling belakang kereta itu ada besi
merah kalau siang. Kalau malam lampu warna merah dan hijau itu semboyan 31. Itu
wajib kita tunjuk. Sugestinya untuk memastikan bahwa semboyan itu ada. Itupun
juga sudah diterapkan di negara lain, seperti Jepang.” Jelasnya.
Ketika ditanya suka dan duka dalam menjalani
pekerjaan ini, Agung menjawab tidak ada sukanya. Ia hanya suka saat mendapatkan
gaji saja. Dukanya pun ia paparkan sangat banyak, hampir setiap hari ia
rasakan, salah satunya adalah ia sering mendapat makian dari orang-orang yang
melintas, dikarenakan ia menutup palang pintu terlalu lama, padahal masih
banyak kereta yang mau melintas, dan ketika ia tidak menutup palang pintu juga
dicaci maki, padahal masih ada kendaraan di dalam lintasan. “Bahasa binatang
keluar, sering dicaci maki, kadang diteriakin, kita dimaki-maki sama mereka,
itu udah makanan sehari-hari. Apalagi kebetulan lintas padat begini, itulah
makanannya.” Ungkapnya.
Agung berharap, pekerjaan yang ia lakukan
saat ini semakin maju, baik itu dari segi pemasukan gaji maupun tunjangan. Ia
ingin pekerjaannya lebih diperhatikan dan dihargai, karena selama ini pekerjaan
tersebut dipandang rendah, pegawainya pun diibaratkan pegawai paling rendah di
mata masyarakat, khususnya orang-orang yang melintas. “Boleh dibilang rendah.
Cuma ya resikonya seperti ini. Berat sekali tanggung jawabnya.” Ujarnya. (NQ)
DOKUMENTASI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar