Jumat, 05 Juni 2020

Virus Corona, Membuat Perekonomian Dunia Menjerit




Awal tahun 2020 ini dunia sedang dihebohkan dengan adanya Virus Corona. Virus Corona yang kemudian dikenal dengan COVID-19 kini sedang menjadi wabah pandemik global. Virus yang diduga berasal dari hewan ini bermula di Wuhan China, yang akhirnya menyebar ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Korea Selatan, Iran bahkan sudah sampai ke Indonesia. Hingga saat ini, negara yang sudah mengkonfirmasi adanya Virus Corona berjumlah 115 negara.
Tidak hanya menyerang dari manusia ke manusia saja, Virus Corona pun juga menyerang perekonomian dunia. Memang awalnya berdampak pada perekonomian China, namun karena negara China merupakan negara eksportir dan manufaktur terbesar di dunia yang juga memiliki kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, negara lain yang bergantung pada China pun juga ikut terkena dampaknya. China menyumbangkan hampir sepertiga pertumbuhan ekonomi global, yang artinya jika ekonomi China terpuruk, maka efek domino akan terjadi, ekonomi negara lain juga akan terpuruk atau bahkan lebih buruk.
China ‘pemegang rekor dunia,’ yakni sebagai produsen dan eksportir manufaktur terbesar, pasar terbesar untuk barang konsumsi dan barang mewah, dan pengimpor minyak mentah terbesar. Pelemahan ekonomi sebesar 0,5 hingga 1 persen tentu akan berdampak luar biasa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2020, penurunan tajam terjadi pada ekspor migas dan non-migas yang merosot 12.07%, hal ini dapat terjadi karena China merupakan pengimpor minyak mentah terbesar, termasuk dari Indonesia. Dari sisi impor juga terjadi penurunan 2.71% yang disumbang turunnya transaksi komoditas buah-buahan.
Pembatasan keluar masuknya barang dari dan/atau ke China kini juga diberlakukan yang membuat perekonomian China menjadi terganggu. Lagi-lagi, mengingat China merupakan negara yang perekonomiannya sangat berpengaruh di dunia, maka hal tersebut pasti juga akan berdampak pada perekonomian negara lain yang menjadi mitra dagangnya.
Di sisi lain melemahnya China juga berarti mengurangi permintaan terhadap bahan baku, bahan mentah atau komponen untuk barang jadi yang diproduksi di China. Penurunan produksi akan mendorong terjadinya kenaikan harga.
Saat ini, China sedang melakukan pembatasan yang akhirnya mempengaruhi beberapa perusahaan besar, seperti Apple, Diageo, Jaguar, Land Rover dan Volkswagen. Dilansir dari Bloomberg Economics, pabrik di China hanya beroperasi 60% hingga 70% dari kapasitas mereka, diakibatkan sepertiga karyawannya masih belum bekerja karena adanya karantina. Hal ini dapat menghambat proses produksi.
Apabila China mengalami penurunan produksi maka rantai pasokan barang global akan terganggu dan dapat mengganggu proses produksi yang membutuhkan bahan baku dari China. Indonesia juga sangat bergantung dengan bahan baku dari China terutama bahan baku plastik, bahan baku tekstil, part elektronik, komputer dan furnitur, komponen ponsel, baterai, layar, pengeras suara, sampai pemasok utama Apple dan perakit iPhone.
China adalah raksasa industri, termasuk industri smartphone. Ketika pabrik-pabrik China tutup, widget yang masuk ke segala hal mulai dari iPhone Apple hingga mesin konstruksi menjadi lebih sulit ditemukan, dimana iPhone dan Apple adalah produk yang paling laris di dunia, dan kini mereka kehilangan suku cadang sehingga tidak bisa memproduksi untuk sementara waktu. Hal ini menyebabkan negara-negara yang memproduksi smartphone kehilangan pendapatan akibat terhambatnya proses produksi dan distribusi smartphone.
Dengan minimnya bahan baku, banyak perusahaan yang melakukan efisiensi melalui pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan begitu, masyarakat yang terdampak pun tidak lagi memiliki sumber penghasilan. Otomatis, daya belinya pun akan menurun. Beberapa perusahaan mengonfirmasi telah mem-PHK karyawan. Xincao Media, misalnya, menyatakan telah melakukan PHK terhadap 500 karyawan, atau sekitar 10% dari total jumlah pekerja.
Tidak hanya itu saja, akibat dari pabrik yang tutup di China juga berdampak pada toko-toko di China. Toko-toko tersebut terpaksa tutup karena tidak dapat memperoleh barang pasokan, selain itu minat beli masyarakat menjadi berkurang karena mereka dihimbau untuk tidak keluar rumah jika tidak ada kepentingan yang mendesak. Hal ini mengakibatkan perekonomian di China melemah yang nantinya akan berdampak pada ekonomi global.
Menurut asosiasi produsen makanan China, 93% restoran tutup selama epidemi - juga selama Tahun Baru Imlek yang merupakan perayaan terbesar di China yang bertepatan dengan dimulainya wabah. Sektor ini diperkirakan merugi hingga 500 miliar yuan (sekitar Rp1.000 trilyun) menurut data yang dikumpulkan EFE dari Beijing.
Dalam perhitungan ADB, dampak global akibat virus corona ini akan berkisar US$77 miliar hingga US$347 milar. Angka tersebut setara dengan 0,1% hingga 0,4% PDB global. Secara global, potensi kehilangan ekonomi dunia mencapai US155 miliar dan China sendiri US$103 miliar. Perkiraan terburuknya, secara global, potensi kerugian dunia mencapai US$346 miliar. Angka tersebut berasal dari potensi kerugian China (US$ 236 miliar), negara Asia non-China (US$42 miliar) dan sisanya dari negara-negara lain (US$68 miliar). (NQ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar