Awal
tahun 2020 ini dunia sedang dihebohkan dengan adanya Virus Corona. Virus Corona
yang kemudian dikenal dengan COVID-19 kini sedang menjadi wabah pandemik
global. Virus yang diduga berasal dari hewan ini bermula di Wuhan China, yang
akhirnya menyebar ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Spanyol, Italia,
Korea Selatan, Iran bahkan sudah sampai ke Indonesia. Hingga saat ini, negara
yang sudah mengkonfirmasi adanya Virus Corona berjumlah 115 negara.
Tidak
hanya menyerang dari manusia ke manusia saja, Virus Corona pun juga menyerang
perekonomian dunia. Memang awalnya berdampak pada perekonomian China, namun
karena negara China merupakan negara eksportir dan manufaktur terbesar di dunia
yang juga memiliki kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika
Serikat, negara lain yang bergantung pada China pun juga ikut terkena
dampaknya. China menyumbangkan hampir sepertiga pertumbuhan ekonomi global,
yang artinya jika ekonomi China terpuruk, maka efek domino akan terjadi,
ekonomi negara lain juga akan terpuruk atau bahkan lebih buruk.
China
‘pemegang rekor dunia,’ yakni sebagai produsen dan eksportir manufaktur
terbesar, pasar terbesar untuk barang konsumsi dan barang mewah, dan pengimpor
minyak mentah terbesar. Pelemahan ekonomi sebesar 0,5 hingga 1 persen tentu
akan berdampak luar biasa.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari 2020, penurunan tajam terjadi
pada ekspor migas dan non-migas yang merosot 12.07%, hal ini dapat terjadi
karena China merupakan pengimpor minyak mentah terbesar, termasuk dari
Indonesia. Dari sisi impor juga terjadi penurunan 2.71% yang disumbang turunnya
transaksi komoditas buah-buahan.
Pembatasan
keluar masuknya barang dari dan/atau ke China kini juga diberlakukan yang
membuat perekonomian China menjadi terganggu. Lagi-lagi, mengingat China
merupakan negara yang perekonomiannya sangat berpengaruh di dunia, maka hal tersebut
pasti juga akan berdampak pada perekonomian negara lain yang menjadi mitra
dagangnya.
Di
sisi lain melemahnya China juga berarti mengurangi permintaan terhadap bahan
baku, bahan mentah atau komponen untuk barang jadi yang diproduksi di China. Penurunan
produksi akan mendorong terjadinya kenaikan harga.
Saat
ini, China sedang melakukan pembatasan yang akhirnya mempengaruhi beberapa perusahaan
besar, seperti Apple, Diageo, Jaguar, Land Rover dan Volkswagen. Dilansir dari
Bloomberg Economics, pabrik di China hanya beroperasi 60% hingga 70% dari
kapasitas mereka, diakibatkan sepertiga karyawannya masih belum bekerja karena adanya
karantina. Hal ini dapat menghambat proses produksi.
Apabila
China mengalami penurunan produksi maka rantai pasokan barang global akan
terganggu dan dapat mengganggu proses produksi yang membutuhkan bahan baku dari
China. Indonesia juga sangat bergantung dengan bahan baku dari China terutama
bahan baku plastik, bahan baku tekstil, part elektronik, komputer dan furnitur,
komponen ponsel, baterai, layar, pengeras suara, sampai pemasok utama Apple dan
perakit iPhone.
China
adalah raksasa industri, termasuk industri smartphone.
Ketika pabrik-pabrik China tutup, widget
yang masuk ke segala hal mulai dari iPhone Apple hingga mesin konstruksi
menjadi lebih sulit ditemukan, dimana iPhone dan Apple adalah produk yang
paling laris di dunia, dan kini mereka kehilangan suku cadang sehingga tidak
bisa memproduksi untuk sementara waktu. Hal ini menyebabkan negara-negara yang
memproduksi smartphone kehilangan
pendapatan akibat terhambatnya proses produksi dan distribusi smartphone.
Dengan
minimnya bahan baku, banyak perusahaan yang melakukan efisiensi melalui
pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan begitu, masyarakat yang terdampak pun
tidak lagi memiliki sumber penghasilan. Otomatis, daya belinya pun akan
menurun. Beberapa perusahaan mengonfirmasi telah mem-PHK karyawan. Xincao
Media, misalnya, menyatakan telah melakukan PHK terhadap 500 karyawan, atau
sekitar 10% dari total jumlah pekerja.
Tidak
hanya itu saja, akibat dari pabrik yang tutup di China juga berdampak pada
toko-toko di China. Toko-toko tersebut terpaksa tutup karena tidak dapat
memperoleh barang pasokan, selain itu minat beli masyarakat menjadi berkurang
karena mereka dihimbau untuk tidak keluar rumah jika tidak ada kepentingan yang
mendesak. Hal ini mengakibatkan perekonomian di China melemah yang nantinya
akan berdampak pada ekonomi global.
Menurut
asosiasi produsen makanan China, 93% restoran tutup selama epidemi - juga
selama Tahun Baru Imlek yang merupakan perayaan terbesar di China yang bertepatan
dengan dimulainya wabah. Sektor ini diperkirakan merugi hingga 500 miliar yuan
(sekitar Rp1.000 trilyun) menurut data yang dikumpulkan EFE dari Beijing.
Dalam
perhitungan ADB, dampak global akibat virus corona ini akan berkisar US$77
miliar hingga US$347 milar. Angka tersebut setara dengan 0,1% hingga 0,4% PDB
global. Secara global, potensi kehilangan ekonomi dunia mencapai US155 miliar
dan China sendiri US$103 miliar. Perkiraan terburuknya, secara global, potensi
kerugian dunia mencapai US$346 miliar. Angka tersebut berasal dari potensi kerugian
China (US$ 236 miliar), negara Asia non-China (US$42 miliar) dan sisanya dari
negara-negara lain (US$68 miliar). (NQ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar